Shalat Sekenanya
Bismillah...
Berikut ini adalah potongan cerita yang kukutip dari Majalah Ar-Risalah, semoga bermanfaat dan sebagai bahan muhasabah, cekidot~
Pada suatu sore hari, hampir satu jam selepas Ashar, di masjid dekat kampus masih ada beberapa orang yang tengah menunggu waktu dimulainya sebuah kajian rutin.
Berikut ini adalah potongan cerita yang kukutip dari Majalah Ar-Risalah, semoga bermanfaat dan sebagai bahan muhasabah, cekidot~
......o0o......
Pada suatu sore hari, hampir satu jam selepas Ashar, di masjid dekat kampus masih ada beberapa orang yang tengah menunggu waktu dimulainya sebuah kajian rutin.
Sementara, seorang laki-laki dewasa masuk tergopoh-gopoh sambil menyeka air bekas wudhu di mukanya. Masih sambil berjalan, dia mengurai lintingan celana jins warna birunya. Sejurus kemudian mengikatkan handuk kecil yang semula ada di pundaknya pada bagian dengkul yang terbuka menganga. Mendadak langkahnya berhenti, dia memutar kuncung topinya ke belakang, lalu bertakbir dan memulai shalat ashar.
Sungguh pemandangan yang nampak aneh, kostumnya -celana jin biru belel, dengan ikatan handuk di dengkulnya, kaos oblong dengan gambar dan bertuliskan BOB MARLEY, serta topi yang kuncungnya dibalik di belakang- sulit dipercaya kalau lelaki dewasa itu tengah menjalankan shalatnya. Apalagi gerakannya yang cepatnya tak terduga. Sesekali pandangannya datar ke depan, atau juga sedikit mendongak ke atas ke arah sudut antara eternit dan dinding masjid. Belum tiga menit, 'drama shalat kilat' itu pun usai. Pelakunya menyudahi dengan salam yang juga tak sampai sempurna, bersambung dengan tengadah tangan sebentar kemudian diusapkan ke muka (berdoa) seraya berdiri dan ngeloyor keluar lagi. 'Drama' seperti itu, mungkin para pembaca juga pernah menyaksikannya.
Kini marilah kita bandingkan, bagaimana di antara para pendahulu kita melaksanakan kewajiban serupa. Ketika ditanya tentang bagaimanakah dia melaksanakan shalat, Hatim Al-Asham menceritakan, "Jika tiba waktunya shalat, aku sempurnakan wudhuku dan segera pergi ke tempat aku ingin shalat di dalamnya."
"Kemudian aku berdiri untuk shalat, dan aku jadikan Ka'bah ada di hadapanku, surga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, dan malaikat maut ada di belakangku. Aku bayangkan seolah-olah bahwa shalatku ini adalah shalat terkahir bagiku. Aku berdiri dalam shalat dalam keadaan harap dan takut."
Dalam kesempatan lain dia juga berkata, "Aku berdiri karena untuk melaksanakan perintah-Nya, berjalan dengan rasa takut, memulainya dengan niat, membaca takbir memulainya dengan niat , membaca takbir dengan penuh pengagungan, dan membaca AlQuran dengan taril serta tafakur. Aku rukuk dengan khusyu', sujud dengan tawadhu', duduk tasyahud dengan sempurna dan mengucap shalat dengan niat. Aku menyudahi shalat dengan ikhlas karena Allah, dan aku pun merenungkan nasibku dengan perasaaan takut; khawatir jika Allah tidak menerima shalatku."
Manakah yang lebih baik antara yang pertama dan yang kedua? Kiranya kita bisa menyimpulkannya.
Penting kita catat, bahwa di samping shalat memang sebuah kewajiban yang harus kita tegakkan, ia juga merupakan syiar yang paling tinggi dari agama ini. Jika itu kita rendahkan dengan cara mengerjakan sekenanya, niscaya jatuh dan rendah pula harga diri pribadi dan agama kita ini. Wallahu A'lam.
sumber: Majalah ar-risalah no.70/Th.VI hlm. 27
sebaiknya saat menghadap Allah dengan pakaian yang pantas ya
BalasHapusiya mbak
Hapus