ANALISIS TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “DENGARLAH NYANYIAN ANGIN” KARYA HARUKI MURAKAMI (Pendekatan Struktural)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra adalah wujud dari buah pemikiran manusia yang secara sadar maupun tidak sadar dapat terwujud dalam perbuatan maupun perwujudan keseharian. Di samping itu, sastra memiliki banyak manfaat dan juga memiliki banyak dampak yang mempengaruhi watak maupun sikap seseorang dalam menjalani kehidupannya. Sastra berada di atas kehidupan manusia. Secara tidak langsung penulis menyampaikan bahwa sastra baik secara lisan maupun tulisan yang keluar dari mulut maupun gaya keseharian yang tersurat dalam tulisan.
Menurut M. Atar Semi (1988:8), “Sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya”. Seperti yang telah diungkapkan M. Atar Semi bahwa sastra itu hasil pekerjaan seni kreatif, manusia dengan tangan pikirannya menjangkau riak-riak kedalaman hidup manusia. Hal ini sepaham dengan pengertian yang dibentuk oleh penulis sendiri, yaitu sastra merupakan cairan pikiran yang dituangkan ke dalam mangkuk kehidupan yang luas. Dengan begitu sastra merupakan hal kompleks yang ada di dalam manusia secara tak sadar. Di sini bahasa merupakan komunikator dan mediumnya.
Karya sastra mengandung berbagai unsur yang sangat kompleks, dan mengandung unsur kebahasaan, struktur wacana, signifikan sastra, keindahan, sosial budaya, nilai, dan latar kesejarahannya (Aminuddin, 1987: 51). Sekali lagi dikatakan bahwa sastra itu hal yang kompleks. Namun jika semua bergabung dalam satu kesatuan terlihatlah kekhasan karya sastra tersebut.
Karya sastra dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu karya imajinatif dan karya non imajinatif. Puisi, cerpen, novel, drama merupakan karya sastra. Dan salah satu yang termasuk ke dalam sastra imajinatif adalah novel. Dalam penulisan karya ilmiah ini akan dibahas mengenai novel. Menurut Ater dalam bukunya (1988: ),
Dari uraian di atas mengenai perbedaan antara novel dan roman sudah jelas bahwa roman itu cakupannya lebih luas karena rentang cerita dari lahir hingga tiada. Novel merupakan hasil pemikiran penulis mengenai salah satu atau lebih cerita-cerita dalam kehidupan manusia yang dituangkan ke dalam tulisan, dirangkaikan dan diolah sedemikian rupa sehingga memiliki jalan cerita dan lika-liku kehidupan manusia.
Dewasa ini, novel cukup diminati terutama kalangan remaja. Banyaknya karya-karya yang muncul dari novelis-novelis muda yang memunculkan cerita-cerita apik dan dibubuhi bahasa yang sangat menarik. Novel-novel yang cukup menarik dibaca juga berasal dari negara luar atau novel terjemahan. Karya-karya novelis luar negeri patut kita acungkan jempol juga. Salah satu penulis berbakat yaitu Haruki Murakami. Kalimat-kalimat Haruki yang banyak menceritakan mengenai kehidupan dan tanpa sadar mengingatkan kita pada hal alami dan natural dari dasarnya kehidupan dunia. Melalui novel-novelnya Haruki menunjukkan keeksistensi manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan berkuasa di dunia, karya-karyanya pun mengandung banyak kritik-kritik terhadap arus-arus sosial budaya di Jepang yang semakin lama semakin bercampur dan bertambah menjadi sangat dramatis. Kehidupan identik dengan alam dan semua itu dicampuradukkan ke dalam karya Haruki.
Novel karya Haruki Murakami, Dengarlah Nyanyian Angin, merupakan salah satu dari novel yang cukup terkenal di Jepang. Penulis tertarik untuk membahas novel ini karena dalam karya pertama Murakami ini, ia sukses menciptakan bahasa yang unik dan menarik di setiap sisi lembaran novel ini. Ia piawai menciptakan humor cerdas, analogi dan kata-kata bijak yang hampir selalu ada di setiap lembaran halaman bukunya. Walaupun sebenarnya gaya penceritaan novel ini tidak terlalu bombastis dan latarnya datar-datar saja, namun kemampuan Murakami menggambarkan karakter tokoh-tokoh dalam novel ini, baik tokoh utama maupun tokoh-tokoh yang hanya numpang lewat saja. Selain itu pula novel ‘Dengarlah Nyanyian Angin’ ini pernah mendapatkan dan memenangkan Gunzo Literary Award pada tahun 1979.
Novel yang memiliki judul asli ‘Kaze no Uta wo Kike’ ini merupakan kisah kaum muda yang berlatar tahun ’60 hingga ‘70an, mereka kaum-kaum yang merasakan arus pembenturan nilai-nilai tradisional dan modern di Jepang pada waktu itu. Bagaimana kisah-kisah mereka dituangkan ke dalam novel ini diwakilkan oleh 3 orang anak muda yang memiliki bayangan-bayangan masa depan yang belum mereka ketahui.
Untuk menganalisis karya sastra berdasarkan teori dan kritik sastra terdapat beberapa pendekatan yang dikategorikan oleh Abrams (Wiyatmi, 2006:78) yaitu:
1. Pendekatan mimetik
2. Pendekatan objektif
3. Pendekatan ekspresif
4. Pendekatan pragmatik
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan pendekatan objektif atau structural. Penulis menganalisis tokoh utama karena menganggap tokoh utama dalam Novel Dengarlah Nyanyian Angin ini mendominasi seluruh sisi cerita. Ia mengawali penceritaan dari awal hingga akhir. Ia memiliki watak yang betul-betul sangat berbeda dan unik. Bentuk kehidupannya yang dari kecil yang tergantung pada dirinya sendiri membuatnya pribadi yang sangat berbeda dewasa kelak. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh tambahan, sangat berbeda. Banyak hal yang dapat ditemukan dan dipelajari darinya.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulisan ini diberi judul “Analisis Tokoh Utama Dalam Novel Dengarlah Nyanyian Angin Karya Haruki Murakami”.
B. Pembahasan Teori
Novel merupakan salah satu karya sastra imajinatif yang merupakan hasil dari pemikiran rekaan manusia. Jenis fiksi ini memuat cerita yang kompleks mengenai kehidupan seseorang maupun masyarakat. Novel merupakan cerita yang kompleks. Seperti yang ditulis Jakob Sumarjo dalam bukunya (1986 : 29),
Novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasanan cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “ukuran luas” di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsure fiksinya saja, misalnya temanya, sedang karakter, setting, dan lain-lain hanya satu saja.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa di dalam sebuah novel hanya terdapat salah satu unsur yang menguasai jalannya sebuah novel. Ada unsur tertentu yang sangat kuat penggambarannya yang dideskripsikan oleh penulis dalam karyanya. Di dalam penulisan ini, novel yang akan dianalisis merupakan novel yang kuat unsur penokohan di dalamnya.
Beberapa unsur struktur cerita rekaan adalah ; alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa (Mursal Esten, 1978:25). Seperti yang telah dikemukakan di atas penulisan ini merupakan pembahasan analisis penokohan. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan objektif.
1. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren dalam Wiyatmi (2006:87) menyebutkan pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.
Dalam meneliti sebuah karya sastra diperlukan pendekatan, dalam penulisan ini digunakan pendekatan struktural. Jika peneliti sastra ingin mengetahui sebuah makna dalam sebuah karya sastra maka peneliti harus menganalisis aspek yang membangun karya tersebut dan menghubungkan dengan aspek lain sehingga makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra mampu dipahami dengan baik. Pendekatan struktural melihat karya sastra sebagai satu kesatuan makna secara keseluruhan.
Menurut Teeuw (1984:135), Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan structural membongkar seluruh isi (unsur-unsur intrinsik di dalam novel) dan menghubungkan relevansinya antara unsur-unsur di dalamnya.
2. Tokoh, Penokohan, dan Perwatakan
Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000:165). Penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan (Mursal Esten, 1978:27). Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000:165).
Bagaimana penulis menggambarkan karakter tokoh utama dalam novel ini sehingga watak-watak tokoh sesuai dengan cerita tema, dan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang. Peristiwa dalam karya fiksi selalu dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang diceritakan mengalami kejadian keseharian. Tokoh-tokoh yang diangkat sebagai pelaku jalannya cerita mengalirkan arus dan membawa cerita ke dalam awal, klimaks hingga akhir. Kesatuan cerita yang dibawa oleh tokoh dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan tokoh. Menurut Aminuddin (1987 : 79), “Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan”. Cara pengarang menampilkan tokohnya dari berbagai peristiwa itu berbeda-beda. Masih menurut Aminuddin dalam bukunya (1987:79),
…pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lain.
Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan yang sangat penting, namun tak lepas dari itu, tokoh dalam novel memegang peranan yang berbeda-beda. Ada tokoh yang penting ada pula tokoh tambahan.
Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. (Aminuddin, 1987:79)
Untuk memahami seluk beluk novel, fungsi tokoh utama sangat penting. Pembaca mengikuti alur cerita karena mengikuti gerak tokoh utama cerita. Penokohan biasanya digambarkan dari penggabungan minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu dalam suatu cerita. Setiap pengarang ingin menunjukkan tokoh-tokoh yang ditampilkan dan secara tidak langsung ingin menyampaikan sesuatu dari tokoh-tokoh yang ditampilkannya pula. (M. Atar Semi, 1988).
Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan dalam fiksi yaitu secara analitik dan secara dramatis. Menurut M. Atar Semi (1988:39), “secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.” Membaca isi novel secara seksama kemudian menampilkan bagaimana sosok karakter seorang tokoh secara langsung. Berbeda dengan cara dramatis, “secara dramatis,penggambar perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui : (1)pilihan nama tokoh, (2)melalui penggambaran fisik, (3)melalui dialog. Poin ketiga merupakan poin penting yang juga sangat sering diperhatikan, karena watak seseorang mudah diketahui lewat apa yang dikatakannya.
BAB II
HASIL PENELITIAN
A. Karakter Tokoh Utama
Tokoh utama merupakan tokoh sentral yang perannya sangat berpengaruh terhadap tokoh lainnya, namun secara tidak langsung mendapat pengaruh yang sama terhadap penggambaran karakter dari peran tambahan. ‘Aku’ kecil adalah anak yang sangat pendiam, hingga dibawa oleh ibunya ke seorang psikiater di mana dia mendapatkan pelajaran “Peradaban adalah informasi”. Jika sudah tak ada lagi informasi yang ingin disampaikan atau dibagi, maka selesailah peradaban. Selanjutnya ‘Aku’ berkembang menjadi pemuda yang tak pendiam, tapi tak banyak bicara juga. Digambarkan sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang cukup unik, Tokoh aku dilatar belakangi oleh kehidupan masa kecilnya yang cukup berbeda dari anak kecil lainnya. “Sewaktu kecil aku adalah anak yang sangat pendiam. Karena khawatir, kedua orang tuaku membawaku ke rumah kenalan mereka yang seorang psikiater.”(Murakami, 2008:22)
Hal ini digambarkan pula melalui kutipan berikut,
…. Sungguh sulit dipercaya, tapi di suatu musim semi ketika usiaku beranjak empat belas tahun, tiba-tiba saja aku mulai mengoceh tak ubahnya seperti dam yang ambrol. Aku tak ingat apa yang kukatakan waktu itu, tapi aku terus mengoceh tanpa henti selama tiga bulan seperti berusaha menutupi kekosongan selama empat belas tahun. Di pertengahan Juli, ketika selesai mengoceh, aku menderita demam setinggi 40°C sehingga harus absen dari sekolah selama tiga hari. Akhirnya setelah demamku turun, aku menjadi pemuda biasa, tidak pendiam tidak juga banyak bicara. (2008:26).
Tokoh aku terinspirasi dari salah seorang penulis barat Derek Heartfield, seorang penulis kelahiran Amerika yang tidak terlalu terkenal dan mati bunuh diri. Karya-karya Derek Heartfield menyusuri liku hidupnya selama beberapa tahun. Dalam kutipan Murakami “Aku banyak belajar tentang kalimat dari Derek Heartfield. Mungkin seharusnya aku bilang bahwa hampir semuanya kupelajari dari dia.” (2008:3)
Percakapan-percakapan dalam karya ini tergolong cukup singkat, terutama pada bagian tokoh ‘aku’. Percakapan-percakapan singkat yang dilontarkan oleh tokoh utama ini juga sangat membantu kita dalam memberikan penilaian tentang sifat dan karakter yang diusung oleh tokoh ‘aku’. Dari dialog tokoh ‘aku’ terlihat bahwa tutur-katanya hanyalah sebuah formalitas dan tidak lebih. Hal tersebut lebih dapat disebut sebagai sebuah ‘keengganan yang dipaksakan’ karena ia tidak terlalu menanggapi percakapan-percakapan tersebut dengan serius. Dari beberapa bagian percakapannya dengan Nezumi ataupun percakapannya dengan teman gadisnya ia selalu menjawab sesuai logika dan kadang terlalu logis. “Misalnya gigi keropos. Suatu hari gigi kita yang sudah keropos tiba-tiba terasa sakit. Seseorang mencoba menghibur kita, tapi rasa sakit tidak berarti akan hilang. Kalau sudah begitu, kita mulai kesal terhadap orang-orang yang tidak merasa kesal terhadap dirinya sendiri. Ngerti nggak?” (Murakami, 2008:110)
Sebenarnya kata-kata yang dilontarkan oleh ‘aku’ ini cukup bijaksana walaupun terkesan aneh. Murakami (2008:110) menyebutkan,
Tapi coba kau pikirkan baik-baik. Kondisi semua orang sama saja. Sama seperti ketika kita naik pesawat rusak. Tentu saja di situ ada orang yang bernasib baik dan bernasib buruk. Ada yang tangguh, ada juga yang lemah; ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hanya saja, tidak ada yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada orang lain. Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selalu cemas, jangan-jangan selamanya aku akan tetap menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Semua orang sama! Karena itu, manusia yang menyadari hal itu lebih cepat harus lebih berusaha menjadi sedikit lebih tangguh. Sekadar pura-pura pun tidak apa. Betul kan? Di mana pun tidak akan ada manusia yang tangguh. Yang ada hanyalah manusia yang pura-pura tangguh.
‘Aku’ merupakan tokoh yang berpikir segala sesuatu itu dapat dipikirkan dengan baik dan tanpa perlu tergesa-gesa, kesannya ia memikirkan baik-baik mengenai sesuatu dan dari itulah ia menjadi tokoh yang bijak dalam menangani sesuatu. Tokoh yang digambarkan penyabar ini selalu berpikir segala sesuatunya itu dengan bijak walaupun terkadang dengan perkataan-perkataannya yang sangat kompleks tersebut. Yang menarik dari lakon utama ini adalah perwatakannya yang digambarkan oleh Murakami. Ada dua macam jenis perwatakan yang dimiliki oleh tokoh ‘aku’. Dua jenis perwatakan itu pada dasarnya memiliki sifat yang beroposisi satu sama lainnya. Pada sisi dialog, sang tokoh merupakan seorang yang tidak terlalu mengambil aksi semua hal yang ada disekitarnya. Sebagai subjek dari kepasifannya, tokoh ‘aku’ merupakan tokoh yang sangat tidak tanggap akan keadaan sekitarnya. Misalnya, hubungannya dengan teman baiknya yang bernama Nezumi. Kejadian seperti ini banyak ditemukan di bagian lainnya, tidak hanya berkaitan dengan Nezumi tetapi juga dengan tokoh-tokoh lainnya.
Di akhir masa SMA, aku memutuskan untuk hanya mengungkapkan setengah dari apa yang ada di dalam hatiku. Aku sudah lupa alasannya, tapi niat itu kulaksanakan selama beberapa tahun. Suatu hari, kusadari bahwa aku telah menjadi manusia yang hanya bisa mengungkapkan setengah dari apa yang kupikirkan. (Murakami, 2008: 101)
‘Aku’ lebih banyak bercerita dan digambarkan lebih sensitif. Bagian ini sangat menonjol di beberapa sub-bab awal dan akhir karya walaupun hal ini tidak bermaksud menyangkal kemunculan bagian tersebut pada sub-bab lainnya. Perwatakan ini lebih banyak mencoba menjelaskan penceritaan yang ingin disampaikan karya. Kalau ditilik lebih jauh, untuk menemukan karakter sebenarnya dari tokoh aku ini cukup sulit. Namun penulis mencoba mencari satu kutipan di mana menjelaskan karakter utama dari tokoh ‘aku’. Dalam Murakami (2008:26) penulis menemukan satu kutipan yang penulis rasa cukup mewakili karakter utama ‘aku’ dalam novel ini, “… aku menjadi pemuda biasa, tidak pendiam tidak juga banyak bicara”.
B. Hubungan Tokoh Utama dan Tokoh Lain
Karakter-karakter yang ditampilkan dalam karya juga merupakan aspek yang menarik untuk dilihat. Secara garis besar karya ini memiliki beberapa karakter. Tiga orang dari karakter tersebut memainkan peranan yang cukup dominan dalam karya, seperti Nezumi (anak orang kaya yang membenci orang-orang kaya), wanita berjari empat (tipe wanita pekerja yang bosan dengan kehidupannya), dan Jay (seorang perantau dari negri ‘tirai bambu’ yang mencoba mengadu nasib di Yamanote, Jepang). Di samping ketiga karakter tersebut masih ada beberapa karakter yang meskipun tidak terlalu mendominasi di dalam karya namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam diri ‘aku’. Tokoh itu adalah ayah ‘aku’, penyiar radio, dan Derek Heartfield (seorang penulis fiktif)
a. Hubungan Tokoh ‘aku’ dan Nezumi
Nezumi adalah sahabat ‘aku’.mereka bertemu secara tidak sengaja dalam situasi yang aneh, bertemu karena mabuk berat dan mengenadarai mobil hingga menabrak dan pada saat itulah mereka saling berkenalan. Nezumi cukup kaya, terlihat dari mobil yang selalu ia pakai dan berganti-ganti dengan mudahnya. Hal anehnya ia membenci orang kaya. Ia pun membenci statusnya sebagai orang kaya. Nezumi menganggap orang kaya adalah orang yang dan suka membuang-buang waktu. “Mendingan semua orang kaya ke laut aja deh!” pendapat Nezumi.
Ia mengaku tak suka membaca buku, namun kemudian melahap karya-karya Henry James sampai Kazantzakis, dan bercita-cita menulis novel tanpa adegan seks dan kematian. Kegemarannya adalah memakan panekuk baru matang yang disiram Coca Cola, dan memiliki kalimat yang menjadi ciri khasnya “Kukatakan dengan tegas, ya…”
Seperti yang dikemukakan di atas tokoh ‘aku’ merupakan tokoh yang sangat tidak tanggap akan keadaan sekitarnya. Misalnya, hubungannya dengan teman baiknya yang bernama Nezumi. Walaupun secara tidak langsung Nezumi sebagai seorang sahabat ‘aku’ selalu berpengaruh terhadapnya. Nezumi, secara tidak langsung mengubah karakter tokoh utama menjadi semakin berkembang pikirannya.
Tokoh utama belajar dari perubahan sikap Nezumi. Walaupun terkadang Nezumi bisa langsung berubah dan berkepribadian terbalik dengan kepribadiannya yang biasa.
b. Hubungan Tokoh ‘aku’ dengan wanita berjari empat
Begitu pula dengan perubahan-perubahan tokoh lain. Ada seorang tokoh lagi, ia adalah seorang wanita yang ditolong oleh ’aku’ ketika mabuk berat. Tokoh ini juga cukup unik. Bersama dengan tokoh aku tokoh wanita ini menghabiskan waktu selama 18 hari bersama. Pemunculan-pemunculannya yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan tokoh utama cukup berpengaruh. Si wanita ini sungguh cuek dengan keadaannya. Tidak peduli kata ‘aku’ dia tetap menjalaninya. Wanita ini juga sungguh cerdas dan tidak jauh beda dengan tokoh utama. Ucapan-ucapannya juga cukup pedas dan tegas,
“Kalau tidak keberatan, bagaiman kalau kita makan bersama?”
Dia menggelengkan kepala tanpa mengalihkan pandangan dari kuitansi.
“Aku suka makan sendirian.”
“Aku juga begitu kok.”
“Masa sih?”
Seolah-olah sudah muak, dia menggeser kuitansi-kuitansi itu ke samping lalu meletakkan album baru harpers Bizarre di pemutar piringan hitam lalu menurunkan jarumnya.
“Kalau begitu, kenapa kamu mengajakku?”
“Sekali-sekali ingin mengubah kebiasaan.”
“Ubah saja sendiri.”
Dia menarik lagi kuitansi-kuitansi itu lalu melanjutkan pekerjaannya. “Sudahlah, jangan ganggu aku lagi.”
Aku mengangguk.
“Rasanya dulu aku pernah bilang, kamu cowok rendahan.” Setelah berkata demikian, dia memonyongkan mulutnya dan tetap dengan mimik seperti itu dia membuka-buka kembali kuitansi-kuitansi itu dengan keempat jarinya.
c. Hubungan Tokoh ‘aku’ dengan ayah
Kemunculan sosok ayah tokoh utama memang tidak terlalu kentara di dalam karya ini. Sosok ini hanya muncul melalui dialog lakon utama dengan wanita penjual piringan hitam yang telah menjadi sahabatnya. Dari dialog yang ada dapat kita lihat besarnya pengaruh sang ayah atas diri lakon utama. Ayahnya adalah seorang yang mendidik anaknya secara keras sehingga sedikit banyak membentuk sifat dan karakter lakon utama.
“Nggak mungkinlah. Sepatu ayahku. Ini sudah menjadi aturan di rumah. Anak-anak diwajibkan menyemir sepatu ayahnya. Begitulah peraturannya.”
Jika kita perhatikan, keluarga tempat ‘aku’ dibesarkan merupakan keluarga yang masih menganut sistem atau norma lama, anak harus menjalankan perintah orang tua; hal ini juga jamak ditemukan di berbagai kebudayaan Asia secara umum. Keadaan ini sangatlah kontradiktif dengan lingkungan yang ditampilkan, yakni pengaruh kebudayaan barat yang menjadi ajang pergaulan bagi kawula muda. Jelaslah bahwa tokoh utama hidup di antara benturan dua budaya yang berbeda.
d. Hubungan Tokoh ‘aku’ dengan penyiar radio
Peran serta penyiar radio juga tak dapat dipungkiri dari kehidupan sang tokoh utama. Hubungannya dengan penyiar radio membuat tokoh ‘aku’ kembali teringat akan seorang wanita dari masa lalunya. Hal ini memicu pertemuannya dengan wanita penjual piringan hitam yang nantinya menjadi teman dekat ‘aku’; mereka memiliki hubungan bak sepasang kekasih. Lebih lanjut, faktor ini juga mempengaruhi ‘aku’ dalam mengisahkan kembali pengalaman-pengalamannya dalam cerita ini.
C. Hubungan Tokoh Utama dengan Latar dan Alur
Terdapat hubungan fungsional antara penokohan dan alur. Hal ini terlihat dari sisi peristiwa, permasalahan, dan konflik. Bab-bab awal diceritakan mengenai bagaimana tokoh utama membuka cerita dan bercerita mengenai kisah hidupnya selama beberapa tahun. Karakter dan sifat-sifat dan segala hal yang membentuk karakter tokoh ‘aku’, baik itu lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.Pada bab pertengahan dipaparkan kisah pertemuan-pertemuan yang terjadi antara Nezumi dan ‘aku’. Namun terdapat arus balik yaitu flashback pada part pertemuan pertama ‘aku’ dan Nezumi, “Aku bertemu dengan Nezumi pada musim semi tiga tahun lalu. Waktu itu adalah tahun kami memasuki perguruan tinggi, dan kami sedang mabuk berat. …”.
Selain itu, nostalgia yang kerap muncul adalah pengalaman bersama perempuan-perempuan masa lalunya. Bagaimana mereka bertemu, berpacaran, bercinta, berpisah. Salah satu perempuan itu muncul kembali tanpa diduga dengan cara yang sangat trendy saat itu: mengirimkan request lagu ke radio disertai pesan. ‘Aku’ gagal menemukan perempuan masa lalu itu. Peristiwa muncul dan hilang tiba-tiba ini akan menjadi tipikal di novel-novel Murakami selanjutnya.
Menjelang penghujung buku, pacar ‘Aku’ baru saja menggugurkan kandungannya, yang bukan anak ‘Aku’. Kisah terus bergulir hingga ‘Aku’ harus kembali masuk kuliah karena liburan musim panas berakhir. Ditutup dengan ‘Aku’ mengunjungi makam Heartfield di Ohio. Ada bagian-bagian di mana disisipkan pengulangan masa lalu di dalam cerita. Dalam cerita atau kilas balik yang diceritakan pengarang merupakan perbandingan pikiran tokoh aku dengan apa yang terjadi pada dirinya pada saat itu. Tokoh Aku selalu mengaitkan seluruh kejadian-kejadian yang dialaminya dengan masa lalunya.
Pengarang menggunakan alur campuran sesuai dengan alur cerita yang disajikan dalam novel. Peristiwa awal bersifat kronologis, namun perkembangan selanjutnya digunakan teknik sorot. Lewat sorot balik dapat diketahui peristiwa yang terjadi sebelumnya. Alur ini tidak mengganggu jalannya peristiwa dari awal hingga akhir.
Kesimpulan yang dapat dipetik dari pembahasan adalah tokoh utama yaitu ‘aku’ adalah tokoh pendiam dan selalu mengikuti arus dalam hidupnya. Tokoh ini digambarkan tokoh yang cukup bijaksana dan sedikt sensitif. Karakter tkoh aku’ sangat dipengaruhi oleh beberapa orang-orang yang pernah hidup di sekitarnya. Orang-orang yang pernah masuk dalam kehidupannya sangat membentuk kepribadian seorang ‘aku’. Selain itu, latar juga sangat berpengaruh dalam pembentukan watak. Rangkaian peristiwa yang dialami ‘aku’ menghubungkan cerita dalam novel. Latar tempat dan waktu, keadaan masyarakat dalam novel ini berpengaruh besar dalam penulisan karakter-karakter di dalamnya terutama tokoh ‘aku’.
B. Kekurangan dan Kelebihan Novel
Kelebihan: Ceritanya menarik dan bahasanya mudah dimengerti. Pembaca tidak akan merasa bosan karena ada bagian-bagian yang disuguhkan cukup menarik dan cukup lucu. Novel ini pun cukup tipis dan seperti yang dikemukakan di atas karena gaya penceritaannya yang cukup menarik novel ini mampu ditamatkan dalam beberapa jam.
Kekurangan: Terdapat bahasa yang tidak formal yang muncul dalam buku ini. Entah kenapa, penggunaan bahasa yang seperti itu membuat kesan kuat yang ada dalam buku ini menjadi berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Antara, IGP. 1985. Teori Sastra. Singaraja : Setia Kawan
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan : Pengantar Teori & Sejarah. Bandung : PT Angkasa
Murakami, Haruki. 2008. Dengarlah Nyanyian Angin. Jakarta : Kepustakaan Populer
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada
University PressGramedia
Semi, M. Atar. 1988. Anatomi SASTRA. Padang: Angkasa Raya
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Karya sastra adalah wujud dari buah pemikiran manusia yang secara sadar maupun tidak sadar dapat terwujud dalam perbuatan maupun perwujudan keseharian. Di samping itu, sastra memiliki banyak manfaat dan juga memiliki banyak dampak yang mempengaruhi watak maupun sikap seseorang dalam menjalani kehidupannya. Sastra berada di atas kehidupan manusia. Secara tidak langsung penulis menyampaikan bahwa sastra baik secara lisan maupun tulisan yang keluar dari mulut maupun gaya keseharian yang tersurat dalam tulisan.
Menurut M. Atar Semi (1988:8), “Sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya”. Seperti yang telah diungkapkan M. Atar Semi bahwa sastra itu hasil pekerjaan seni kreatif, manusia dengan tangan pikirannya menjangkau riak-riak kedalaman hidup manusia. Hal ini sepaham dengan pengertian yang dibentuk oleh penulis sendiri, yaitu sastra merupakan cairan pikiran yang dituangkan ke dalam mangkuk kehidupan yang luas. Dengan begitu sastra merupakan hal kompleks yang ada di dalam manusia secara tak sadar. Di sini bahasa merupakan komunikator dan mediumnya.
Karya sastra mengandung berbagai unsur yang sangat kompleks, dan mengandung unsur kebahasaan, struktur wacana, signifikan sastra, keindahan, sosial budaya, nilai, dan latar kesejarahannya (Aminuddin, 1987: 51). Sekali lagi dikatakan bahwa sastra itu hal yang kompleks. Namun jika semua bergabung dalam satu kesatuan terlihatlah kekhasan karya sastra tersebut.
Karya sastra dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu karya imajinatif dan karya non imajinatif. Puisi, cerpen, novel, drama merupakan karya sastra. Dan salah satu yang termasuk ke dalam sastra imajinatif adalah novel. Dalam penulisan karya ilmiah ini akan dibahas mengenai novel. Menurut Ater dalam bukunya (1988: ),
Di antara para ahli teori sastra kita memang ada yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas: sedangkan roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Ada yang menyebutkan bahwa roman merupakan karya fiksi yang menggambarkan tentang tokoh dan peristiwa-peristiwa yang hebat-hebat: mengagumkan, mengerikan, atau menyeramkan; sedangkan novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.
Dari uraian di atas mengenai perbedaan antara novel dan roman sudah jelas bahwa roman itu cakupannya lebih luas karena rentang cerita dari lahir hingga tiada. Novel merupakan hasil pemikiran penulis mengenai salah satu atau lebih cerita-cerita dalam kehidupan manusia yang dituangkan ke dalam tulisan, dirangkaikan dan diolah sedemikian rupa sehingga memiliki jalan cerita dan lika-liku kehidupan manusia.
Dewasa ini, novel cukup diminati terutama kalangan remaja. Banyaknya karya-karya yang muncul dari novelis-novelis muda yang memunculkan cerita-cerita apik dan dibubuhi bahasa yang sangat menarik. Novel-novel yang cukup menarik dibaca juga berasal dari negara luar atau novel terjemahan. Karya-karya novelis luar negeri patut kita acungkan jempol juga. Salah satu penulis berbakat yaitu Haruki Murakami. Kalimat-kalimat Haruki yang banyak menceritakan mengenai kehidupan dan tanpa sadar mengingatkan kita pada hal alami dan natural dari dasarnya kehidupan dunia. Melalui novel-novelnya Haruki menunjukkan keeksistensi manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan berkuasa di dunia, karya-karyanya pun mengandung banyak kritik-kritik terhadap arus-arus sosial budaya di Jepang yang semakin lama semakin bercampur dan bertambah menjadi sangat dramatis. Kehidupan identik dengan alam dan semua itu dicampuradukkan ke dalam karya Haruki.
Novel karya Haruki Murakami, Dengarlah Nyanyian Angin, merupakan salah satu dari novel yang cukup terkenal di Jepang. Penulis tertarik untuk membahas novel ini karena dalam karya pertama Murakami ini, ia sukses menciptakan bahasa yang unik dan menarik di setiap sisi lembaran novel ini. Ia piawai menciptakan humor cerdas, analogi dan kata-kata bijak yang hampir selalu ada di setiap lembaran halaman bukunya. Walaupun sebenarnya gaya penceritaan novel ini tidak terlalu bombastis dan latarnya datar-datar saja, namun kemampuan Murakami menggambarkan karakter tokoh-tokoh dalam novel ini, baik tokoh utama maupun tokoh-tokoh yang hanya numpang lewat saja. Selain itu pula novel ‘Dengarlah Nyanyian Angin’ ini pernah mendapatkan dan memenangkan Gunzo Literary Award pada tahun 1979.
Novel yang memiliki judul asli ‘Kaze no Uta wo Kike’ ini merupakan kisah kaum muda yang berlatar tahun ’60 hingga ‘70an, mereka kaum-kaum yang merasakan arus pembenturan nilai-nilai tradisional dan modern di Jepang pada waktu itu. Bagaimana kisah-kisah mereka dituangkan ke dalam novel ini diwakilkan oleh 3 orang anak muda yang memiliki bayangan-bayangan masa depan yang belum mereka ketahui.
Untuk menganalisis karya sastra berdasarkan teori dan kritik sastra terdapat beberapa pendekatan yang dikategorikan oleh Abrams (Wiyatmi, 2006:78) yaitu:
1. Pendekatan mimetik
2. Pendekatan objektif
3. Pendekatan ekspresif
4. Pendekatan pragmatik
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan pendekatan objektif atau structural. Penulis menganalisis tokoh utama karena menganggap tokoh utama dalam Novel Dengarlah Nyanyian Angin ini mendominasi seluruh sisi cerita. Ia mengawali penceritaan dari awal hingga akhir. Ia memiliki watak yang betul-betul sangat berbeda dan unik. Bentuk kehidupannya yang dari kecil yang tergantung pada dirinya sendiri membuatnya pribadi yang sangat berbeda dewasa kelak. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh tambahan, sangat berbeda. Banyak hal yang dapat ditemukan dan dipelajari darinya.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulisan ini diberi judul “Analisis Tokoh Utama Dalam Novel Dengarlah Nyanyian Angin Karya Haruki Murakami”.
B. Pembahasan Teori
Novel merupakan salah satu karya sastra imajinatif yang merupakan hasil dari pemikiran rekaan manusia. Jenis fiksi ini memuat cerita yang kompleks mengenai kehidupan seseorang maupun masyarakat. Novel merupakan cerita yang kompleks. Seperti yang ditulis Jakob Sumarjo dalam bukunya (1986 : 29),
Novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasanan cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “ukuran luas” di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsure fiksinya saja, misalnya temanya, sedang karakter, setting, dan lain-lain hanya satu saja.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa di dalam sebuah novel hanya terdapat salah satu unsur yang menguasai jalannya sebuah novel. Ada unsur tertentu yang sangat kuat penggambarannya yang dideskripsikan oleh penulis dalam karyanya. Di dalam penulisan ini, novel yang akan dianalisis merupakan novel yang kuat unsur penokohan di dalamnya.
Beberapa unsur struktur cerita rekaan adalah ; alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa (Mursal Esten, 1978:25). Seperti yang telah dikemukakan di atas penulisan ini merupakan pembahasan analisis penokohan. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan objektif.
1. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren dalam Wiyatmi (2006:87) menyebutkan pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.
Dalam meneliti sebuah karya sastra diperlukan pendekatan, dalam penulisan ini digunakan pendekatan struktural. Jika peneliti sastra ingin mengetahui sebuah makna dalam sebuah karya sastra maka peneliti harus menganalisis aspek yang membangun karya tersebut dan menghubungkan dengan aspek lain sehingga makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra mampu dipahami dengan baik. Pendekatan struktural melihat karya sastra sebagai satu kesatuan makna secara keseluruhan.
Menurut Teeuw (1984:135), Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan structural membongkar seluruh isi (unsur-unsur intrinsik di dalam novel) dan menghubungkan relevansinya antara unsur-unsur di dalamnya.
2. Tokoh, Penokohan, dan Perwatakan
Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000:165). Penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan (Mursal Esten, 1978:27). Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000:165).
Bagaimana penulis menggambarkan karakter tokoh utama dalam novel ini sehingga watak-watak tokoh sesuai dengan cerita tema, dan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang. Peristiwa dalam karya fiksi selalu dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang diceritakan mengalami kejadian keseharian. Tokoh-tokoh yang diangkat sebagai pelaku jalannya cerita mengalirkan arus dan membawa cerita ke dalam awal, klimaks hingga akhir. Kesatuan cerita yang dibawa oleh tokoh dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan tokoh. Menurut Aminuddin (1987 : 79), “Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan”. Cara pengarang menampilkan tokohnya dari berbagai peristiwa itu berbeda-beda. Masih menurut Aminuddin dalam bukunya (1987:79),
…pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lain.
Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan yang sangat penting, namun tak lepas dari itu, tokoh dalam novel memegang peranan yang berbeda-beda. Ada tokoh yang penting ada pula tokoh tambahan.
Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. (Aminuddin, 1987:79)
Untuk memahami seluk beluk novel, fungsi tokoh utama sangat penting. Pembaca mengikuti alur cerita karena mengikuti gerak tokoh utama cerita. Penokohan biasanya digambarkan dari penggabungan minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu dalam suatu cerita. Setiap pengarang ingin menunjukkan tokoh-tokoh yang ditampilkan dan secara tidak langsung ingin menyampaikan sesuatu dari tokoh-tokoh yang ditampilkannya pula. (M. Atar Semi, 1988).
Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan dalam fiksi yaitu secara analitik dan secara dramatis. Menurut M. Atar Semi (1988:39), “secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.” Membaca isi novel secara seksama kemudian menampilkan bagaimana sosok karakter seorang tokoh secara langsung. Berbeda dengan cara dramatis, “secara dramatis,penggambar perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui : (1)pilihan nama tokoh, (2)melalui penggambaran fisik, (3)melalui dialog. Poin ketiga merupakan poin penting yang juga sangat sering diperhatikan, karena watak seseorang mudah diketahui lewat apa yang dikatakannya.
BAB II
HASIL PENELITIAN
Tokoh utama merupakan tokoh sentral yang perannya sangat berpengaruh terhadap tokoh lainnya, namun secara tidak langsung mendapat pengaruh yang sama terhadap penggambaran karakter dari peran tambahan. ‘Aku’ kecil adalah anak yang sangat pendiam, hingga dibawa oleh ibunya ke seorang psikiater di mana dia mendapatkan pelajaran “Peradaban adalah informasi”. Jika sudah tak ada lagi informasi yang ingin disampaikan atau dibagi, maka selesailah peradaban. Selanjutnya ‘Aku’ berkembang menjadi pemuda yang tak pendiam, tapi tak banyak bicara juga. Digambarkan sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang cukup unik, Tokoh aku dilatar belakangi oleh kehidupan masa kecilnya yang cukup berbeda dari anak kecil lainnya. “Sewaktu kecil aku adalah anak yang sangat pendiam. Karena khawatir, kedua orang tuaku membawaku ke rumah kenalan mereka yang seorang psikiater.”(Murakami, 2008:22)
Hal ini digambarkan pula melalui kutipan berikut,
…. Sungguh sulit dipercaya, tapi di suatu musim semi ketika usiaku beranjak empat belas tahun, tiba-tiba saja aku mulai mengoceh tak ubahnya seperti dam yang ambrol. Aku tak ingat apa yang kukatakan waktu itu, tapi aku terus mengoceh tanpa henti selama tiga bulan seperti berusaha menutupi kekosongan selama empat belas tahun. Di pertengahan Juli, ketika selesai mengoceh, aku menderita demam setinggi 40°C sehingga harus absen dari sekolah selama tiga hari. Akhirnya setelah demamku turun, aku menjadi pemuda biasa, tidak pendiam tidak juga banyak bicara. (2008:26).
Tokoh aku terinspirasi dari salah seorang penulis barat Derek Heartfield, seorang penulis kelahiran Amerika yang tidak terlalu terkenal dan mati bunuh diri. Karya-karya Derek Heartfield menyusuri liku hidupnya selama beberapa tahun. Dalam kutipan Murakami “Aku banyak belajar tentang kalimat dari Derek Heartfield. Mungkin seharusnya aku bilang bahwa hampir semuanya kupelajari dari dia.” (2008:3)
Percakapan-percakapan dalam karya ini tergolong cukup singkat, terutama pada bagian tokoh ‘aku’. Percakapan-percakapan singkat yang dilontarkan oleh tokoh utama ini juga sangat membantu kita dalam memberikan penilaian tentang sifat dan karakter yang diusung oleh tokoh ‘aku’. Dari dialog tokoh ‘aku’ terlihat bahwa tutur-katanya hanyalah sebuah formalitas dan tidak lebih. Hal tersebut lebih dapat disebut sebagai sebuah ‘keengganan yang dipaksakan’ karena ia tidak terlalu menanggapi percakapan-percakapan tersebut dengan serius. Dari beberapa bagian percakapannya dengan Nezumi ataupun percakapannya dengan teman gadisnya ia selalu menjawab sesuai logika dan kadang terlalu logis. “Misalnya gigi keropos. Suatu hari gigi kita yang sudah keropos tiba-tiba terasa sakit. Seseorang mencoba menghibur kita, tapi rasa sakit tidak berarti akan hilang. Kalau sudah begitu, kita mulai kesal terhadap orang-orang yang tidak merasa kesal terhadap dirinya sendiri. Ngerti nggak?” (Murakami, 2008:110)
Sebenarnya kata-kata yang dilontarkan oleh ‘aku’ ini cukup bijaksana walaupun terkesan aneh. Murakami (2008:110) menyebutkan,
Tapi coba kau pikirkan baik-baik. Kondisi semua orang sama saja. Sama seperti ketika kita naik pesawat rusak. Tentu saja di situ ada orang yang bernasib baik dan bernasib buruk. Ada yang tangguh, ada juga yang lemah; ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hanya saja, tidak ada yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada orang lain. Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selalu cemas, jangan-jangan selamanya aku akan tetap menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Semua orang sama! Karena itu, manusia yang menyadari hal itu lebih cepat harus lebih berusaha menjadi sedikit lebih tangguh. Sekadar pura-pura pun tidak apa. Betul kan? Di mana pun tidak akan ada manusia yang tangguh. Yang ada hanyalah manusia yang pura-pura tangguh.
‘Aku’ merupakan tokoh yang berpikir segala sesuatu itu dapat dipikirkan dengan baik dan tanpa perlu tergesa-gesa, kesannya ia memikirkan baik-baik mengenai sesuatu dan dari itulah ia menjadi tokoh yang bijak dalam menangani sesuatu. Tokoh yang digambarkan penyabar ini selalu berpikir segala sesuatunya itu dengan bijak walaupun terkadang dengan perkataan-perkataannya yang sangat kompleks tersebut. Yang menarik dari lakon utama ini adalah perwatakannya yang digambarkan oleh Murakami. Ada dua macam jenis perwatakan yang dimiliki oleh tokoh ‘aku’. Dua jenis perwatakan itu pada dasarnya memiliki sifat yang beroposisi satu sama lainnya. Pada sisi dialog, sang tokoh merupakan seorang yang tidak terlalu mengambil aksi semua hal yang ada disekitarnya. Sebagai subjek dari kepasifannya, tokoh ‘aku’ merupakan tokoh yang sangat tidak tanggap akan keadaan sekitarnya. Misalnya, hubungannya dengan teman baiknya yang bernama Nezumi. Kejadian seperti ini banyak ditemukan di bagian lainnya, tidak hanya berkaitan dengan Nezumi tetapi juga dengan tokoh-tokoh lainnya.
Di akhir masa SMA, aku memutuskan untuk hanya mengungkapkan setengah dari apa yang ada di dalam hatiku. Aku sudah lupa alasannya, tapi niat itu kulaksanakan selama beberapa tahun. Suatu hari, kusadari bahwa aku telah menjadi manusia yang hanya bisa mengungkapkan setengah dari apa yang kupikirkan. (Murakami, 2008: 101)
‘Aku’ lebih banyak bercerita dan digambarkan lebih sensitif. Bagian ini sangat menonjol di beberapa sub-bab awal dan akhir karya walaupun hal ini tidak bermaksud menyangkal kemunculan bagian tersebut pada sub-bab lainnya. Perwatakan ini lebih banyak mencoba menjelaskan penceritaan yang ingin disampaikan karya. Kalau ditilik lebih jauh, untuk menemukan karakter sebenarnya dari tokoh aku ini cukup sulit. Namun penulis mencoba mencari satu kutipan di mana menjelaskan karakter utama dari tokoh ‘aku’. Dalam Murakami (2008:26) penulis menemukan satu kutipan yang penulis rasa cukup mewakili karakter utama ‘aku’ dalam novel ini, “… aku menjadi pemuda biasa, tidak pendiam tidak juga banyak bicara”.
B. Hubungan Tokoh Utama dan Tokoh Lain
Karakter-karakter yang ditampilkan dalam karya juga merupakan aspek yang menarik untuk dilihat. Secara garis besar karya ini memiliki beberapa karakter. Tiga orang dari karakter tersebut memainkan peranan yang cukup dominan dalam karya, seperti Nezumi (anak orang kaya yang membenci orang-orang kaya), wanita berjari empat (tipe wanita pekerja yang bosan dengan kehidupannya), dan Jay (seorang perantau dari negri ‘tirai bambu’ yang mencoba mengadu nasib di Yamanote, Jepang). Di samping ketiga karakter tersebut masih ada beberapa karakter yang meskipun tidak terlalu mendominasi di dalam karya namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam diri ‘aku’. Tokoh itu adalah ayah ‘aku’, penyiar radio, dan Derek Heartfield (seorang penulis fiktif)
a. Hubungan Tokoh ‘aku’ dan Nezumi
Nezumi adalah sahabat ‘aku’.mereka bertemu secara tidak sengaja dalam situasi yang aneh, bertemu karena mabuk berat dan mengenadarai mobil hingga menabrak dan pada saat itulah mereka saling berkenalan. Nezumi cukup kaya, terlihat dari mobil yang selalu ia pakai dan berganti-ganti dengan mudahnya. Hal anehnya ia membenci orang kaya. Ia pun membenci statusnya sebagai orang kaya. Nezumi menganggap orang kaya adalah orang yang dan suka membuang-buang waktu. “Mendingan semua orang kaya ke laut aja deh!” pendapat Nezumi.
Ia mengaku tak suka membaca buku, namun kemudian melahap karya-karya Henry James sampai Kazantzakis, dan bercita-cita menulis novel tanpa adegan seks dan kematian. Kegemarannya adalah memakan panekuk baru matang yang disiram Coca Cola, dan memiliki kalimat yang menjadi ciri khasnya “Kukatakan dengan tegas, ya…”
Seperti yang dikemukakan di atas tokoh ‘aku’ merupakan tokoh yang sangat tidak tanggap akan keadaan sekitarnya. Misalnya, hubungannya dengan teman baiknya yang bernama Nezumi. Walaupun secara tidak langsung Nezumi sebagai seorang sahabat ‘aku’ selalu berpengaruh terhadapnya. Nezumi, secara tidak langsung mengubah karakter tokoh utama menjadi semakin berkembang pikirannya.
Tokoh utama belajar dari perubahan sikap Nezumi. Walaupun terkadang Nezumi bisa langsung berubah dan berkepribadian terbalik dengan kepribadiannya yang biasa.
b. Hubungan Tokoh ‘aku’ dengan wanita berjari empat
Begitu pula dengan perubahan-perubahan tokoh lain. Ada seorang tokoh lagi, ia adalah seorang wanita yang ditolong oleh ’aku’ ketika mabuk berat. Tokoh ini juga cukup unik. Bersama dengan tokoh aku tokoh wanita ini menghabiskan waktu selama 18 hari bersama. Pemunculan-pemunculannya yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan tokoh utama cukup berpengaruh. Si wanita ini sungguh cuek dengan keadaannya. Tidak peduli kata ‘aku’ dia tetap menjalaninya. Wanita ini juga sungguh cerdas dan tidak jauh beda dengan tokoh utama. Ucapan-ucapannya juga cukup pedas dan tegas,
“Kalau tidak keberatan, bagaiman kalau kita makan bersama?”
Dia menggelengkan kepala tanpa mengalihkan pandangan dari kuitansi.
“Aku suka makan sendirian.”
“Aku juga begitu kok.”
“Masa sih?”
Seolah-olah sudah muak, dia menggeser kuitansi-kuitansi itu ke samping lalu meletakkan album baru harpers Bizarre di pemutar piringan hitam lalu menurunkan jarumnya.
“Kalau begitu, kenapa kamu mengajakku?”
“Sekali-sekali ingin mengubah kebiasaan.”
“Ubah saja sendiri.”
Dia menarik lagi kuitansi-kuitansi itu lalu melanjutkan pekerjaannya. “Sudahlah, jangan ganggu aku lagi.”
Aku mengangguk.
“Rasanya dulu aku pernah bilang, kamu cowok rendahan.” Setelah berkata demikian, dia memonyongkan mulutnya dan tetap dengan mimik seperti itu dia membuka-buka kembali kuitansi-kuitansi itu dengan keempat jarinya.
c. Hubungan Tokoh ‘aku’ dengan ayah
Kemunculan sosok ayah tokoh utama memang tidak terlalu kentara di dalam karya ini. Sosok ini hanya muncul melalui dialog lakon utama dengan wanita penjual piringan hitam yang telah menjadi sahabatnya. Dari dialog yang ada dapat kita lihat besarnya pengaruh sang ayah atas diri lakon utama. Ayahnya adalah seorang yang mendidik anaknya secara keras sehingga sedikit banyak membentuk sifat dan karakter lakon utama.
“Nggak mungkinlah. Sepatu ayahku. Ini sudah menjadi aturan di rumah. Anak-anak diwajibkan menyemir sepatu ayahnya. Begitulah peraturannya.”
Jika kita perhatikan, keluarga tempat ‘aku’ dibesarkan merupakan keluarga yang masih menganut sistem atau norma lama, anak harus menjalankan perintah orang tua; hal ini juga jamak ditemukan di berbagai kebudayaan Asia secara umum. Keadaan ini sangatlah kontradiktif dengan lingkungan yang ditampilkan, yakni pengaruh kebudayaan barat yang menjadi ajang pergaulan bagi kawula muda. Jelaslah bahwa tokoh utama hidup di antara benturan dua budaya yang berbeda.
d. Hubungan Tokoh ‘aku’ dengan penyiar radio
Peran serta penyiar radio juga tak dapat dipungkiri dari kehidupan sang tokoh utama. Hubungannya dengan penyiar radio membuat tokoh ‘aku’ kembali teringat akan seorang wanita dari masa lalunya. Hal ini memicu pertemuannya dengan wanita penjual piringan hitam yang nantinya menjadi teman dekat ‘aku’; mereka memiliki hubungan bak sepasang kekasih. Lebih lanjut, faktor ini juga mempengaruhi ‘aku’ dalam mengisahkan kembali pengalaman-pengalamannya dalam cerita ini.
C. Hubungan Tokoh Utama dengan Latar dan Alur
Terdapat hubungan fungsional antara penokohan dan alur. Hal ini terlihat dari sisi peristiwa, permasalahan, dan konflik. Bab-bab awal diceritakan mengenai bagaimana tokoh utama membuka cerita dan bercerita mengenai kisah hidupnya selama beberapa tahun. Karakter dan sifat-sifat dan segala hal yang membentuk karakter tokoh ‘aku’, baik itu lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.Pada bab pertengahan dipaparkan kisah pertemuan-pertemuan yang terjadi antara Nezumi dan ‘aku’. Namun terdapat arus balik yaitu flashback pada part pertemuan pertama ‘aku’ dan Nezumi, “Aku bertemu dengan Nezumi pada musim semi tiga tahun lalu. Waktu itu adalah tahun kami memasuki perguruan tinggi, dan kami sedang mabuk berat. …”.
Selain itu, nostalgia yang kerap muncul adalah pengalaman bersama perempuan-perempuan masa lalunya. Bagaimana mereka bertemu, berpacaran, bercinta, berpisah. Salah satu perempuan itu muncul kembali tanpa diduga dengan cara yang sangat trendy saat itu: mengirimkan request lagu ke radio disertai pesan. ‘Aku’ gagal menemukan perempuan masa lalu itu. Peristiwa muncul dan hilang tiba-tiba ini akan menjadi tipikal di novel-novel Murakami selanjutnya.
Menjelang penghujung buku, pacar ‘Aku’ baru saja menggugurkan kandungannya, yang bukan anak ‘Aku’. Kisah terus bergulir hingga ‘Aku’ harus kembali masuk kuliah karena liburan musim panas berakhir. Ditutup dengan ‘Aku’ mengunjungi makam Heartfield di Ohio. Ada bagian-bagian di mana disisipkan pengulangan masa lalu di dalam cerita. Dalam cerita atau kilas balik yang diceritakan pengarang merupakan perbandingan pikiran tokoh aku dengan apa yang terjadi pada dirinya pada saat itu. Tokoh Aku selalu mengaitkan seluruh kejadian-kejadian yang dialaminya dengan masa lalunya.
Pengarang menggunakan alur campuran sesuai dengan alur cerita yang disajikan dalam novel. Peristiwa awal bersifat kronologis, namun perkembangan selanjutnya digunakan teknik sorot. Lewat sorot balik dapat diketahui peristiwa yang terjadi sebelumnya. Alur ini tidak mengganggu jalannya peristiwa dari awal hingga akhir.
BAB III
KESIMPULAN
A. SimpulanKESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat dipetik dari pembahasan adalah tokoh utama yaitu ‘aku’ adalah tokoh pendiam dan selalu mengikuti arus dalam hidupnya. Tokoh ini digambarkan tokoh yang cukup bijaksana dan sedikt sensitif. Karakter tkoh aku’ sangat dipengaruhi oleh beberapa orang-orang yang pernah hidup di sekitarnya. Orang-orang yang pernah masuk dalam kehidupannya sangat membentuk kepribadian seorang ‘aku’. Selain itu, latar juga sangat berpengaruh dalam pembentukan watak. Rangkaian peristiwa yang dialami ‘aku’ menghubungkan cerita dalam novel. Latar tempat dan waktu, keadaan masyarakat dalam novel ini berpengaruh besar dalam penulisan karakter-karakter di dalamnya terutama tokoh ‘aku’.
B. Kekurangan dan Kelebihan Novel
Kelebihan: Ceritanya menarik dan bahasanya mudah dimengerti. Pembaca tidak akan merasa bosan karena ada bagian-bagian yang disuguhkan cukup menarik dan cukup lucu. Novel ini pun cukup tipis dan seperti yang dikemukakan di atas karena gaya penceritaannya yang cukup menarik novel ini mampu ditamatkan dalam beberapa jam.
Kekurangan: Terdapat bahasa yang tidak formal yang muncul dalam buku ini. Entah kenapa, penggunaan bahasa yang seperti itu membuat kesan kuat yang ada dalam buku ini menjadi berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Antara, IGP. 1985. Teori Sastra. Singaraja : Setia Kawan
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan : Pengantar Teori & Sejarah. Bandung : PT Angkasa
Murakami, Haruki. 2008. Dengarlah Nyanyian Angin. Jakarta : Kepustakaan Populer
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada
University PressGramedia
Semi, M. Atar. 1988. Anatomi SASTRA. Padang: Angkasa Raya
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi Anonymous ya, susah nyebutnya. Ketik namamu and i'll be glad :D